Bahasa

Pithecantropus Septemblues

Puan. Aku seharusnya menulis sajak cinta. Sajak yang sedari tadi dirangkai di kepala. Selesai boker, buyar semua. Bingung mau nulis apa. Kalah genting oleh urusan biologis manusia. Dalam remang lampu-lampu bolham, dalam malam di kaki gunung karang, daku menyapa puan yang hilang batang hidungnya. Tertelan mesin ATM, alat kosmetik dan sistematis hedonistik. Puan berjalan jauh, lebih jauh dari warung Kak Ombi. Puan berkata pergi, setelah bertemu monyet dalam mimpi.

September malas membahas hal-hal yang rumit. Sedikit berpikir keras otak langsung sakit. Sakitnya tuh dimana? Sakitnya tuh di sana-sini di dalam hariku. Pernahkah kamu adu dengkul dengan kuda? Atau pernahkah kau mencoba pahami tugas pokok sebuah kecoa? Kamu tentu tak akan pernah mengetahui semuanya. Sama halnya ketika aku menginginkanmu. Malam ini, atas nama rindu dan rimbunnya kasih sayang.

Pithecantropus Agooschitis

Agustus. Tak ada koneksi. Sambungan terhalang batang dukuh. Sinyal hilang, semua mendadak rusuh. Kuota banyak, rindunya dihambat jaringan kumat. Kasihan dia. Terancam gagal bercinta gara-gara teknologi tiada nyawa. Akhirnya dia menulis serpihan kasih diatas kertas putih. Baru mau dicatat, pena bergetar hebat. Menahan diri dari rasa buang air. Larilah dia ke departemen pengeluaran. Disana dia bertemu banyak kenangan yang lalu lalang. Rindu kembali muncul ketika sebuah peluru emas meluncur dari liang dubur.

Agustus. Bulannya bulan negeri kaya akan perasaan. Tanah tumpah darah para penyair yang setiap malam tenggorokannya dibasahi kopi. Negeri indah, damai dan tenteram yang terkadang gemetar oleh isu pemberitaan. Tanah, air, pohon, batu, hewan, pedagang, artis-artis dunia maya, tukang tambal ban dan atau seluruh mahluk hidup yang ada diatasnya. Semuanya adalah aneka ragam ibu pertiwi. Ibu yang amat kucintai. Indonesia.

Agustus. Saat itu, diantara wanginya bunga kopi yang bermekaran di kaki gunung karang. Semua perasaan dan keinginan berhamburan berterbangan. Tertiup sejuk, terburai ambruk. Cita dan cinta kadang tak sesuai rencana. Detak jantung mulai tak beraturan. Masuk angin atau asam lambung kah ini? Aku bertanya pada diri sendiri. Dia menjawab, “Tenang, kita tidak apa-apa. Ini hanya karena kita bertemu dia di empat mimpi yang diberkati istiqoroh. Kita pasti bahagia dalam lindungan Allah”.

Pithecantropus Julgigos

Cuaca berubah menjadi dingin. Yang dulu hangat, mulai beku oleh angin. Arah mana yang mau kau tuju? Ketika dengkulmu berdarah, kakimu melepuh. Menggenggam erat harapan yang ingin ditempuh. Membeli obat sakit gigi pada jam sepuluh. Duhai malam, katakanlah, siapa disana yang suka minum teh manis ketika sore? Selain mas-mas yang lelah dipojokan warteg dan bau embe? Apakah kamu? Yang tadi mengenakan jaket dan berkata, “Aku tak mau cuaca mengubah suhu rindu. Dia mesti tetap hangat walau cuaca sedang sendu”.

Juli. Aku mau tidur dulu atau tidak itu bukan urusannya. Sebab itu juga aku tak pernah bisa mendapatkanmu dengan sederhana. Aku tersenyum manis ketika sore hari yang lalu mengenangnya. Mereka bilang padaku untuk mendapatkan kamu. Tapi aku rasa aku tidak bisa mencintaimu. Walaupun dipaksa untuk bersebelahan nyaman. Wujudmu kadang lonjong, kadang bundar, kadang serbuk putih. Tidak statis, dan bergantung pada kreasi orang farmasi. Kau memang yang aku cari. Tidak untuk selamanya, cuma saat sedang sakit gigi. Maaf kita beda jenis. Kau benda medis, aku anak manis.

Juli. Sialan. Niat mau curhat, malah jadi minum obat. Cintamu tak akan bisa menyembuhkan luka, kecuali dikecup Cinta Laura. Ubun-ubun jadi tumbuh beruban-uban. Cinta sudah mulai dimakan usia. Harus bijak menentukan pilihan. Mencari jawaban dalam sholat malam.

Pithecantropus Ankothea

Apabila kamu melihat bahwa ada beberapa jenis tumbuhan yang bisa kita gunakan untuk menyedapkan sup ikan lele, dan digunakan oleh orang tua yang tidak pernah bisa mencintaimu karena flu, maka sesungguhnya mencari tanaman yang tumbuh di daerah tersebut adalah hal yang sama saja dengan membuang waktu. Kita harus tumbuh kembang lebih baik dari pohon pinus, lebih artistik dari lukisan Van Gogh. Dengan kata lain kita juga bisa menjadi alternatif bagi orang lain yang tidak mampu menikmati langit senja ketika sedang manis-manisnya.

Aku mau cerita sedikit tentang pengalamanku. Yaitu tentang apa yang terjadi pada saat itu. Yaitu tentang bagaimana caranya untuk mendapatkan hasil maksimal menggunakan jari telunjuk. Salah satu dari lima di lenganmu. Waktu itu aku sadar, ternyata jari telunjuk bisa digunakan untuk mendapatkan kamu. Kutunjuk kamu ketika sedang mencari sebuah rumah untuk aku pulang. Kita seperti sudah ditakdirkan untuk bersama. Dalam remang lampu kota. Dalam sejuk angin malam. Dalam satu tujuan, satu kesatuan, arah dan jawaban. Kau berhenti, setelah jariku menunjuk ngaceng dalam sepi.

Aku tidak pernah menyesal atas apa yang terjadi. Kita harus tetap menjaga kedaulatan dan kebersamaan demi mencapai tujuan yang ditetapkan oleh naluri. Kita adalah wujud dari simbiosis mutualisme. Saling melengkapi dan saling berbagi. Tidak perlu lagi menunggu waktu lama untuk berbuah. Arah angin yang tepat untuk berlayar ke horizon. Jari telunjuk telah melakukan tugasnya dengan sempurna. Kau begitu baik dan menyenangkan. Walau brewok dan warna kulitmu terlihat menyeramkan. Dalam sejuk malam, dalam lelah dan lapar, dalam angkutan perkotaan. Kita dipertemukan dalam suatu sistem bisnis perhubungan.

Wahai pengendali kereta besi. Jangan membuat kesal para pengemudi. Ugal-ugalan seperti kau kebanyakan minuman. Wahai pengendali hati. Jangan cemburu, karena setiap rindu tujuannya ke kamu.

Pithecantropus Meijunius

Telat. Bergerak lambat. Yang seharusnya diserat baru saja tersirat. Kurang pupuk, kebanyakan ketupat. Rindu gagal merambat. Yang dipeluk seharusnya nikmat, malah dapat bantal bantat. Angin sedang menggebu dahsyat. Semoga cinta bisa tersampaikan dengan kilat. Mengibarkan cangcut dijemuran kawat. Apa kabar sayang? Apakah kamu masih suka makan bakwan?

Mei. Tertulis dibulan juni. Bulan keenam dalam hitungan masehi. Bulan yang sumber kekuatan misagi. Tokoh sailormoon, tontonan minggu pagi. Sewaktu kecil, sewaktu belum mandi. Masa yang berbayang penuh fantasi. Aku jadi papi. Kamu jadi mami. Berdua kita menjalin hubungan rumah-rumah tanggaan, dan si Ajo jadi pembantu yang baik.

Juni. Ramadhan. 2 bulan yang hinggap bersamaan. Semua akan bersuka cita pada lebaran. Yang mantan, jalin tali pertemanan. Yang pacaran, jalin tali kasih kekeluargaan. Yang jomblo, gasrak gasruk berpeluk kue, opor, begah kekenyangan. “Kapan kawin?” jadi pertanyaan. “Kapan cerai?”, belum bisa diungkapkan.

Mei dan juni tercampur dalam hangat teh manis malam. Banyak kisah yang pontang-panting sliweran. Rindu seperti terhalang batang dukuh. Dahan dipapas, rindunya keburu kabur. Kitab dibuka, suara dibuka, dalam tadarus menenangkan. Mendamaikan perasaan, menentramkan pikiran.

Pithecantropus Marethius

Maret beberapa ratus juta detik lalu. Dia itu terbuat dari kuatnya rasa cinta. Dia menimbulkan haru bahagia. Dia terjun ke dunia setelah berbulan-bulan mendekam dipangkuan ibu. Entah berapa bibir yang mendarat di kedua pipinya. Di keningnya. Di bibir dan hidungnya juga. Semua terjadi karena rasa suka. Gemas dengan wujudnya. Yang sehabis mandi sore wangi oleh lumuran minyak telon dan bedak. Dia yang lahir untuk dikenal dengan kamu panggil sayang, si jelek, atau cinta.

Maret beberapa juta menit yang lalu. Dia mengenalmu. Memberikan warna lain dalam hidupmu. Mengingatkanmu bersamanya pada kenangan tempo dulu. Dia yang suka kejepit resleting waktu itu. Dia yang rajin ke dokter gigi pada minggu. Dia yang tidur sambil memegang pipi ibu. Dia yang berkata, “Aku ingin beli mobil buntung agar seluruh keluargaku keangkut”. Ah dia itu. Dia yang gemar ngemut makanan sampai umur sepuluh. Dia yang suka kamu rindu adalah dia yang pernah bilang rindu ke kamu.

Duhai maret. Bulan yang bagus untuk konsumsi nasi goreng sendirian. Nasinya digoreng, piringnya dimakan. Banyak khilaf yang belum dimaafkan. Banyak rindu yang belum dipertemukan. Ku tanya malam, dapatkah kau lihat perbedaan yang tak terungkapkan? Tapi mengapa kau tak berubah. Ada apa dengan anu?

Pithecantropus Le Febre

Diam. Dengarkan. Suara angin akhir-akhir ini lebih senyap. Menandakan arah telah berubah. Bagian mana dari hidup ini yang tak kau mengerti? Ketika angin membawa hujan lebih jauh ke tengah. Atau kau masih teguh berdiri di tebing penantian? Semua yang kita tulis akan memenuhi halaman buku hingga harus menyibakkan halaman baru. Cinta harus bermetamorfosis. Seperti pedagang tahu bulat yang juga berjualan cireng isi.

Februari. Bulan kedua di tahun ini. Tahun baru yang berasa baku. Cuacanya biasa. Langitnya indah di kala fajar, senja, dan malam jikalau sedang cerah. Para pencinta bergumul mesra bersama masing-masing selirnya. Si Anang intim dengan mobile legend-nya. Dan aku klimaks oleh teh hangat, musik merdu, dan goreng sukun. Berilah kami semua ketabahan ketika harapan longsor digerus ketidakpastian.

Terima kasih tuhan. Ketika rindu, aku bersyukur, karena Kau tahu yang ku butuhkan. Februari yang tentram oleh cinta yang diidamkan.